Kata 'sawer' sudah jamak didengar di telinga yang bermakna memberikan uang kepada seorang penyanyi. Namun ada arti lain dari kata 'sawer' yang tidak banyak diketahui orang, yaitu upacara sawer yang dilakukan dalam pernikahan adat Sunda. Upacara sawer dalam pernikahan Sunda dilakukan dengan menaburkan sejumlah benda-benda kecil yang bermakna khusus yang dilakukan oleh orang tua kedua mempelai. Penaburan tersebut adalah sebuah petunjuk kepada kedua calon mempelai agar bila di kemudian hari mereka hidup senang, jangan lupa untuk sedekah dan berbagi kepada sesama.
Taburan saweran disebar pada payung yang menaungi kedua mempelai yang berlindung di bawahnya. Selama prosesi berlangsung juru sawer menembangkan kidung berisi nasihat sebagai bekal kedua mempelai yang akan menempuh hidup baru.
Bahan-bahan yang digunakan untuk saweran terdiri dari beras putih, kunyit, bermacam bunga rampai, uang logam, payung, sirih, permen, dan beras kuning yang sudah direndam dalam air kunyit. Masing-masing bahan tersebut merupakan representasi untuk mendoakan mempelai.
1. Beras menyimbolkan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada kedua pasangan, karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Sunda, dengan harapan keduanya selalu hidup berkecukupan
2. Kunyit atau dalam bahasa Sunda biasa disebut koneng temen. Warna kuning dari kunyit diibaratkan sebagai emas. Kedua orang tua berharap agar putra putri dapat hidup tidak kekurangan bahkan lebih.
3. Bunga-bunga. Aroma wangi dari bunga yang semerbak menjadi harapan agar nama kedua mempelai selalu harum dengan prilaku yang baik.
4. Uang logam melambangkan kekayaan.
5. Payung sebagai lambang kewaspadaan.
6. Sirih untuk menyimbolkan kerukunan. Di antara kedua mempelai semoga selalu hidup rukun dan dapat saling mengerti satu sama lain.
7. Permen dengan rasa manis. Seperti permen, semoga kehidupan berumah tangga selalu manis dan harmonis.
8. Beras yang telah direndam dalam air kunyit.
Sesuai runutan adat pernikahan Sunda, setelah melakukan ijab kabul dan sungkem kepada orang tua, upacara sawer baru dilaksanakan. Karena perkembangan zaman dan segi kepraktisan, upacara sawer saat ini dilakukan di dalam ruangan. Namun apabila dilihat dari arti kata sawer sendiri, sawer diambil dari kata awer dalam bahasa Sunda yang bermakna “air jatuh menciprat”. Ada lagi pendapat lain seperti dikutip dalam buku Bagbagan Puisi Sawer Sunda karya Yus Rusyana yang mengatakan bahwa sawer berasal dari kata panyaweran tempat yang biasa terkena air hujan yang terbawa hembusan angin. Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan tempat yang dimaksud adalah di halaman rumah dimana cipratan air diibaratkan dengan cipratan dari bahan-bahan saweran, beras, kunyit, bunga dan lainnya.
Ketika upacara sawer dilakukan, sering kali tidak hanya anak-anak, tetapi gadis atau jejaka yang belum menikah ikut serta berebut mengambil uang receh atau pun permen yang disebar. Sudah barang tentu momen tersebut makin membuat acara pernikahan ramai dengan gelak tawa melihat perebutan saweran. Konon, masyarakat masih mempercayai dengan mendapatkan saweran dapat mempermudah datangnya jodoh.
Teks: Mery Desianti
Foto: Dok. Marista & Haryo by Mottomo Photography