Foto : Leo Vir
Seperti kebanyakan calon pengantin yang mengusung tradisi dalam pernikahannya, Baim dan Paula yang dalam hitungan hari akan menggelar pernikahan mereka pun menjalankan beberapa prosesi adat. Salah satu prosesi yang dijalani adalah Siraman. Sebuah ritual penyucian diri yang biasanya dijalani sehari sebelum berlangsungnya pernikahan.
Berasal dari suku yang berbeda, Baim dan Paula pun menjalani prosesi siraman yang juga berbeda. Baim yang terlahir dari keluarga Sunda menjalani siraman dalam tradisi Sunda, sementara Paula terlahir di keluarga Jawa menjalani siraman dalam tradisi Jawa Solo. Lalu apa bedanya prosesi siraman yang dijalani Baim dengan yang dijalani Paula? Yuk, kita simak penjelasannya.
Foto : Robbie Suharlim
Prosesi Siraman Tradisi Jawa Solo
Diambil dari kata ‘siram’ yang berarti mandi, prosesi siraman dimaksudkan untuk membersihkan diri sebelum melangkah memasuki kehidupan rumah tangga. Prosesi ini tidak berdiri sendiri namun berkesinambungan dengan beberapa prosesi pra-nikah lainnya. Berbalut kebaya dan kain jumputan, prosesi ini diawali dengan calon pengantin sungkem kepada kedua orang tua untuk memohon doa restu. Selanjutnya calon pengantin berganti mengenakan kain jumputan yang dibuat sebagai dodotan atau kemben, dan dilapisi dengan rangkaian kain melati, lalu didudukkan pada kursi yang telah dialasi dengan tikar pandan dan daun-daunan. Orang yang akan menyiram atau memandikan adalah para pinisepuh yang telah berumah tangga, dimaksudkan agar dapat mewariskan kebahagiaan mereka pada calon pengantin. Jumlah penyiram harus ganjil, biasanya 7 atau 9 orang. Dan yang terakhir menyiram adalah perias yang mengguyur dengan air dari kendi kecil. Dilanjutkan dengan membasuh muka atau wudhu dengan air siraman yang dimasukkan ke dalam kendi, dengan dituangi oleh orang tua. Kemudian kendi tersebut dipecahkan oleh kedua orang tua untuk membuka pamor atau aura sang calon pengantin sambil mengucapkan “wis tinarbuka pamore”.
Foto : Robbie Suharlim
Selanjutnya orang tua calon pengantin menggunting sedikit rambut anaknya, untuk kemudian nanti ditanam. Kemudian calon pengantin dibawa ke dalam ruangan oleh perias, untuk upacara ngerik atau menghilangkan bulu kuduk atau bulu pada dahi, kemudian dirias serta dipaes. Ambar, perias yang belakangan ini menjadi langganan pengantin adat, dipercaya untuk menangani keseluruhan acara siraman ini. Menurut Ambar, Paula akan menjalani prosesi Siraman sesuai pakem tradisi Solo, tanpa dikurangi. Dan sesuai tradisi Solo, sementara Paula menjalankan ritual ngerik, kedua orang tua akan menggelar dodol dawet atau berjualan dawet atau cendol kepada para tamu, namun yang membeli tidak membayar dengan uang melainkan dengan kreweng atau pecahan genting.
Prosesi Siraman Tradisi Sunda
Menilik dari segi bahasa, prosesi siraman dalam tradisi Sunda disebut dengan Ngebakan. Memiliki arti memandikan, prosesi ini biasanya didahului dengan ngaras yaitu sungkem dan membasuh kaki kedua orang tua sebagai simbol penghormatan dan permohonan izin. Sama seperti tradisi Jawa, jumlah penyiram pun harus ganjil, 7 atau 9 orang dan harus yang sudah berumah tangga. Sebelumnya air siraman dicampur dengan air siraman dari calon mempelai wanita. Lalu dengan permainan musik kecapi suling, siraman diawali dengan doa, lalu mulai menyiram air dari atas kepala hingga ujung kaki. Diakhiri dengan melafalkan ‘jangjawokan’.
Setelah pemotongan ujung rambut oleh kedua orang tua, rambut calon pengantin pria diambil oleh petugas pembawa air untuk kembali ke tempat pengantin wanita. Dilanjutkan dengan prosesi nyawer, kemudian potong tumpeng dan penyuapan terakhir orang tua kepada calon pengantin pria.
Penasaran untuk tahu lebih detail tentang prosesi yang akan dijalani Baim dan Paula? Ikuti terus weddingku.com/baimpaula ya.