Prosesi siraman menjadi puncak dari rangkaian prosesi adat yang digelar di kediaman Baim. Sebuah prosesi yang berarti menyucikan diri sebelum memasuki gerbang pernikahan. Kedatangan duto tirto yang membawa air siraman dari Paula, disambut oleh kakak dan kedua orang tua Baim. Setelah dicampur dengan air siraman Baim, prosesi siraman pun siap untuk dimulai, dipandu oleh Ust. Heri Sukarno dari L.S Suarna Putra.
Berjalan di atas kain yang digelar menuju tempat siraman, Baim mengenakan kain batik sebatas pinggang dan ronce melati tersampir di dada. Siraman pertama pun dilakukan oleh papa Baim, Bapak Johnny Djaelani, dimulai dari kepala yang lalu diusapkan ke bahu. Dilanjutkan oleh mama tercinta, Ibu Kartini Marta Admadja yang melakukan hal sama, siraman ketiga dilakukan oleh nenek. Namun karena sudah sepuh nenek tak sanggup menaiki undakan tempat siraman yang memang dibuat berlevel, sehingga Baim yang turun menghampiri dan air siraman pun dibawakan sehingga sang nenek dapat menyiramkan air doa tersebut kepada cucu tercintanya. Sebuah pertunjukkan kasih sayang yang menyentuh dari seorang cucu kepada neneknya.
Total sembilan orang yang menyiram dengan kedua kakak perempuan Baim, Dewi Safitri Tunjung Sari dan Putri Nurizki Mayang Sari menjadi penyiram terakhir. Selanjutnya dengan dituangkan air dari teko kuningan oleh papa, Baim melakukan wudhu, membasuh muka tangan dan kaki, melambangkan kepatuhannya bukan hanya kepada kedua orang tua tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dilanjutkan dengan pemotongan ujung rambut, yang diserahkan kepada duto tirto untuk digabungkan dengan potongan rambut Paula nantinya. Rangkaian prosesi di kediaman Baim pun ditutup dengan sawer sinjang, dimana Baim, papa dan mama melempar kain beberapa gulungan batik ke arah para tamu. Semua yang hadir pun berebutan berusaha mendapatkan kain-kain tersebut. Menjadi acara ceria yang menutup rangkaian prosesi yang penuh haru.