Setiap pengantin berhak mendapatkan yang terbaik dan unik. Sebuah prinsip yang membuat Didiet Maulana selalu berkeliling melakukan riset mendalam mengenai tradisi pernikahan Nusantara.
Tak mudah membuat janji temu dengannya. Kesibukan yang begitu padat membuatnya harus bolak balik ke luar kota. Hari ini dia berada di Makassar, seminggu kemudian bisa jadi dia sudah berada di pulau Bangka. Ketika akhirnya Weddingku Tradisional berhasil menemuinya di butiknya di Jl. Dempo, Jakarta Selatan, perbincangan intens selama lebih dari 1 jam itu pun berhasil membuat kami mengerti mengapa desainer yang konsisten menekuni wastra adati Indonesia ini memiliki mobilitas yang luar biasa tinggi.
Hidup Dalam Fesyen
Fesyen adalah dunianya. Pria kelahiran Jakarta 18 Januari 1981 ini telah mengerti fesyen sejak usia yang masih sangat belia. Sang nenek tercinta menjadi orang pertama yang mengenalkan Didiet kecil kepada dunia fesyen. Beberapa kali memenangkan busana terbaik, nenek selalu tampil stylish di setiap kesempatan. Memilih dan mengenakan pakaian yang sesuai, melipat pakaian dengan benar, juga selalu diajarkan oleh kakek, membuatnya sensitif terhadap fesyen sejak kecil. Meski begitu, pada tahun 1990an percaya dirinya belum tumbuh untuk mengambil studi di jurusan fesyen. Karenanya, arsitektur menjadi pilihan bagi Didiet yang juga menyukai teknik. Sempat bekerja di bidang ini selama empat bulan, kemudian pindah ke media selama empat tahun, hingga akhirnya pindah lagi ke industri retail sebagai Head of Marketing Communication. Tujuh tahun menjalani profesi ini, membuat rasa cintanya terhadap fesyen kembali menampakkan diri.
Tak sekedar bekerja, Didiet juga mempelajari karakteristik konsumen di Indonesia dan Asia. Ia pun melihat peluang untuk membuka lini mode sendiri. Saat itu, tahun 2010, belum ada desainer muda yang mengolah tenun ikat untuk dijadikan busana siap pakai. Hanya desainer senior yang melakukan ini. Setelah melakukan riset ke beberapa tempat seperti Bali, Jepara, mencari perajin yang dapat mengerjakan tenun seperti yang diinginkan, maka pada tahun 2011 Didiet memberanikan diri mendirikan Ikat Indonesia. Setahun berselang, pada 21 April 2012 tepat di Hari Kartini, Didiet meluncurkan lini barunya, Svarna. Bila Ikat Indonesia menghadirkan busana ready to wear, Svarna dikhususkan untuk premium line seperti gaun dan kebaya. Yang lucunya, disiplin ilmu yang dipelajarinya saat kuliah di jurusan arsitektur, justru terpakai saat ia kembali ke dunia fesyen. Bila sebelumnya ia belajar untuk memperkirakan konstruksi untuk desain bangunan yang ia buat, kali ini ia harus memperhitungkan apakah desain busananya memungkinkan untuk dikerjakan.
Svarna – Cinta dan Budaya Nusantara
Rasa cintanya yang begitu besar terhadap budaya Indonesia membuat idealisme Didiet bangkit sejak awal Svarna berdiri, ia selalu mengedukasi calon pengantin yang datang kepadanya untuk menghormati tradisi dan tampil cantik memesona di hari istimewa. Melakukan riset adalah hal yang wajib dilakukan saat mempersiapkan setiap calon pengantin. Untuk adat Minang misalnya, setelah berbincang dengan calon pengantin, ia akan berkeliling Sumatera Barat, mencari informasi mengenai konsep sesungguhnya dari pernikahan Minang itu sendiri, mencari dan berdiskusi dengan penenun, mengajak mereka mengerjakan motif klasik dengan menggunakan bahan yang lebih modern, juga mencari perhiasan atau aksesori adat yang klasik dan memesannya khusus ke perajin bila sudah tidak ada yang memproduksi. Sebuah proses yang membutuhkan waktu cukup lama, dengan hasil akhir yang cantik, klasik, elegan dalam tampilan yang modern dan mampu memesona setiap mata. Setidaknya enam bulan waktu yang ia butuhkan untuk mempersiapkan keindahan tersebut. Kecuali untuk pengantin Sunda atau Jawa dimana relasinya sudah cukupbanyak, waktu empat bulan dirasa cukup.
Hal ini ia terapkan kepada siapapun, termasuk saat pernikahan anak Sri Mulyani, ia memesan kain batik khusus kepada salah satu maestro Batik di Solo, Go Tik Swan. Begitupun saat pernikahan Khairani Kalla, putri bungsu Jusuf Kalla. Meski hanya mengerjakan busana untuk para kakak, ia khusus berkunjung ke Sengkang untuk menemui perajin. Saat itu busana untuk pengantin dipercayakan kepada Edward Hutabarat, desainer senior yang diakui sebagai inspirasinya. “Sebenarnya saya terinspirasi dari bang Edo. Ketika menerima suatu project, ia tidak pernah menggunakan kain yang sudah jadi. Ia selalu kembali ke akar dan mempelajarinya disana. Hal ini yang menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama,” paparnya.
Begitu banyak pengalaman dan pengetahuan yang didapat Didiet Maulana dalam menerapkan metode ini. Salah satunya adalah ketika melakukan riset untuk pengantin Bangka. Ia menemukan bahwa tak satupun yang masih menyimpan busana pengantin asli Bangka di daerah asalnya. Bahkan hanya ada satu perajin yang masih menenun kain Bangka. Dan karena tampilan pengantin Bangka mirip dengan pengantin Palembang, maka biasanya mereka menikah mengenakan busana pengantin Palembang. Hal seperti ini kerap ia temui dan tentu saja membuat hatinya trenyuh.
Salah satu hasil karya yang membuatnya bangga adalah saat mempersiapkan pernikahan Andien. Mulai dari kain batik Wahyu Temurun yang dikenakan oleh kakek nenek Didiet saat menikah dan khusus dipinjamkan untuknya, lalu cunduk mentul yang merupakan koleksi pribadi sejak tahun 1940, hingga pembuatan sanggul di Solo. Hal ini dilakukan karena Andien menyerahkan semua kepadanya. ”Karena waktu itu saya yang pasang semua, tidak ada perias adatnya. Kalau di Jakarta sini ada beberapa perias seperti ibu Mamie Hardo atau mba Ambar, saya bisa merem, karena sudah pasti bagus,” ujarnya. Hasilnya, seperti kita lihat bersama, Andien yang begitu cantik, anggun memesona di hari pernikahannya.
Menurut Didiet, setiap pengantin berhak mendapatkan yang terbaik dan unik. Ia selalu melakukan riset, bagaimana karakter calon pengantin, busana seperti apa yang sesuai untuk dikenakan. Bahkan untuk make-up artist dan aksesori lain seperti sepatu pun Didiet yang memberi masukan, agar sesuai dengan penampilan keseluruhan. Karenanya, satu permintaannya kepada para calon pengantin, “Ketika kamu datang ke Svarna, kosongkan kepala dan percaya, biarkan saya bekerja,” terang pria yang pernah bekerjasama dengan brand TUMI dan dibagikan untuk para selebriti yang hadir di acara Grammy Award 2016. Melihat tingkat kepuasan yang dirasakan para pengantinnya, tak salah rasanya apa yang ia minta.
Cinta, kesungguhan,keprihatinan dan kebahagiaan tergambar jelas di wajah desainer berusia tigapuluh enam tahun itu sepanjang membicarakan Svarna dan pengantin tradisional Indonesia. Raut wajah serius itu baru mulai terlihat ringan saat pembicaraan beralih ke Ikat Indonesia. Mungkin karena sudah ada tim yang bekerja melakukan riset. “Biasanya riset dilakukan secara bersamaan untuk pengantin dan hal lainnya seperti peremajaan penenun, bagaimana membuat kain tenun dari suatu daerah menjadi lebih banyak yang membeli dan memakai, apa saja hambatannya,” papar Didiet semangat. Semangat yang selalu memenuhi rongga dada seorang Didiet Maulana kala membicarakan tentang budaya dan tradisi Indonesia serta bagaimana memajukan dan mensejahterakan mereka yang terlibat di dalamnya.