Redupnya Pamor Kebaya
Di Era 70 hingga 80-an, pamor kebaya mengalami penurunan. Busana ini tetap menjadi busana nasional, namun tidak dianggap sebagai busana yang bergengsi. Ada keterpaksaan saat menggunakannya. Apalagi di kalangan kaum muda yang pada era tersebut sedang dihinggapi demam gaya flower power, hippies – ditahun 70-an – beggar look, dan punk – di tahun 80-an. Kebaya dianggap sebagai pakaian orang tua dan akhirnya hanya dilirik sebelah mata.
Di akhir tahun 80-an, kebaya mulai menggelegak. Di era ini seorang perancang almarhum Prajudi Admodirdjo, menampilkan kebaya dengan bahan yang belum pernah digunakan oleh masyarakan Indonesia pada waktu itu yaitu: organdi atau organza. Selain meluncurkan kebaya dengan bahan organdi atau organza yang tembus pandang, Prajudi pun menambahkan aksen di bagian lengan. Pangkal lengan agak dibuat tinggi dengan lipit lipit yang dikerjakan dengan tangan. Biasanya dipadu dengan pareo – kain batik yang dikenakan dengan salah satu bagian ujungnya menjuntai. Setelah itu kebaya kembali hilang tertelan jaman.
Kembalinya Sang Kebaya
Adalah seorang Edward Hutabarat yang mulai melirik kebaya yang menyebabkan kebaya dilirik kembali sebagai busana nasional yang modis, modern, dan membanggakan. Usahanya ini sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1992 ketika ia mengambil siluet kebaya sebagai tema utama ketika tampil di Singapura ada acara ASEAN Fashion Designer Shiow, Singapore Fashion Connection. Pada saat itu karyanya sempat memukau para pecinta fashion di negara pulau tersebut. Sejak itu Edo kemudian menetapkan hati untuk menggarap kebaya lebih serius. Sampai pada tahun 1999 ketika ia meluncurkan buku tentang kebaya dan membahas lebih luas tentang busana nasional dengan judul Busana Nasional Indonesia. Pada saat yang sama ia pun menggelar karya mutakhirnya, bertemakan kebaya secara tunggal di Musium Nasional. Kebaya yang ia tampilkan baik dalam buku maupun dalam pergelaran tunggalnya memang tampil modis, modern, berkesan mahal tanpa meninggalkan kesan anggun, feminin, atau pun keluar dari pakem. Oleh Edo, citra kebaya dan kain panjang yang selalu dianggap merepotkan, justru sangat efisien, praktis, dan bisa dipakai di segala kesempatan resmi.
Kasual Versus Gemerlap
Bersamaan dengan itu kebaya bergaya Obin (Josephine Komara) pun muncul bersamaan dengan masyarakat yang menggilai batik Bin House. Karakternya lebih kasual dibandingkan dengan kebaya ala Edo, tapi sama dengan Edo, Obin pun tetap memegang teguh pakem kebaya yang dilansirnya. Kalau pun ada sediki modifikasi, itu hanya pada garis asimetris/miring di bagian kutubaru, atau pun di bagian bawah kebaya. Sampai saat ini Obin pun masih menampilkan kebaya khas Obin. Bahkan pada peragaan tunggalnya di Jakarta Fashion Week 2013, Bin House menampilkan kebaya bergaya kutubaru khas Obin.
Setelah tahun 2000, muncul perancang busana generasi lebih muda Didi Budihardjo, Eddy Betty, Widi Budimulia, dan Sebastian Gunawan yang menggarap kebaya sesuai dengan interpretasi mereka masing-masing. Melalui tangan-tangan mereka muncullah kebaya bustier – kebaya yang dilapisi bustier – sehingga struktur dan bentuknya lebih mengikuti bentuk badan. Di masa itu, bahan kebaya pun tampil semakin bervariasi, tidak hanya bahan voil dan sifon, tetapi juga bahan tembus pandang yang terbuat dari bahan renda. Para perancang muda ini menggarap kebaya dengan detail memukau yang membuat kebaya tampil gemerlap dan sangat mewah tanpa melupakan pakem atau aturan kebaya itu.
Kebaya Modifikasi
Setelah itu, ditangan Anne Avantie, Marga Alam, dan Ferry Sunarto kebaya mengalami evolusi yang luar biasa. Awalnya Anne Avantie, menampilkan warna-warna kebaya yang tampil dengan nuansa warna-warna solid cenderung gelap namun tetap tampil anggun. Di era ini pula lahir kebaya yang bentuknya keluar dari pakem. Lingkar leher bervariasi, lengan mengalami perubahan bentuk sehingga sekilas terlihat seperti blus atau gaun modern yang dipadu dengan kain panjang atau sarung batik.
Di masa inilah kebaya modern/kebaya modifikasi mengalami jaman keemasan. Kebaya dengan aplikasi manik, payet, mute, dan kristal digemari hampir dari segala kalangan dan segala lapisan masyarakat. Jauh melejit ketimbang kebaya orisinal, kebaya klasik, atau kebaya yang mempertahankan pakem. Namun setelah lebih dari satu dasa warsa, akhir-akhir ini masyarakat mulai memalingkan diri ke kebaya yang tampilannya lebih sederhana. Semua aplikasi yang menyilaukan mata dan memberikan kesan gemerlap mulai di toned down. Dalam beberapa acara penting, sudah terlihat beberapa sosialita tampil dengan kabaya klasik yang dirasa lebih kekinian, lebih nasionalis, dan lebih Indonesia.
Teks Anton Diaz