Di pelaminan nan indah, nampak anak daro dan marapulai duduk bersanding. Senyum bahagia tak henti-hentinya menghiasi wajah pasangan pengantin yang baru saja usai melaksanakan ritual adat Minang, balantuang kening. Kini mereka sah sebagai suami istri. Balantuang kening merupakan salah satu ritual yang ada dalam prosesi pernikahan adat Sumatera Barat. Seperti namanya yang berarti mengadu kening, pelaksanaan prosesi tesebut dilakukan dengan cara menempelkan kening mempelai wanita dan pria. Namun kulit mereka tidak saling bersentuhan, lantaran dipisahkan oleh sebentuk kipas. Perlahan kipas yang menghalangi diturunkan oleh sesepuh perempuan, hingga dahi keduanya saling bertemu.
Prosesi tersebut mempunyai makna Islami, yakni ketika dua orang berlainan jenis yang bukan muhrim telah diikat oleh tali pernikahan, maka status keduanya berubah menjadi muhrim. Sehingga setelah berwudhu dan bersentuhan tidak akan batal wudhunya. Setelah ritual ini, sesi berikutnya adalah mangaruak nasi kuning. Pada ritual ini, pasangan pengantin harus mencari singgang ayam yang disembunyikan di dalam nampan berisi nasi kuning.
Pelaksanaan prosesi ini kerap mengundang tawa dan menghibur para tamu yang bertandang, lantaran kedua mempelai seakan seperti tengah berlomba dan berebut untuk lebih dulu mendapatkan potongan daging singgang ayam. Setelah masing-masing mendapat potongan daging ayam, kemudian masing-masing mempelai mengangkatnya tinggi-tinggi guna diperlihatkan pada para tamu. Sorak-sorai dan derai tawa terdengar nyaring dari para tamu yang datang. Tampak anak daro mendapat bagian sayap ayam, dan marapulai mendapat kepala ayam.
Menurut tradisi Minang, setiap bagian ayam tersebut mempunyai arti serta filosofi akan alur kehidupan berumah tangga. Bagian kepala melambangkan pemimpin dan sosok kepala keluarga yang menjadi panutan bagi istri dan anak. Bagian kepala ini memang tepat jika didapatkan oleh pengantin pria. Sedangkan sayap ayam mempunyai makna sebagai pengayom keluarga. Jadi, apabila pengantin wanita yang mendapatkannya, itu pertanda bagus, sebab anak daro akan mengayomi keluarga dengan sifat keibuannya.
Namun sebaliknya bila sayap yang diambil oleh mempelai pria, sang wanita harus ekstra hati-hati untuk menjaga mempelai pria yang akan selalu pergi, laksana burung yang terbang kesana-kemari. Lain lagi bila mendapatkan dada, yang bermakna bahwa yang mengambil akan menjadi orang yang penyabar dan lapang dada. Namun hendaknya berbagai makna tersebut disikapi dengan bijak, sebab ramalan bukan sebuah hal yang harus kita terima utuh tanpa adanya proses berpikir yang cerdas. Baiknya ritual ini hanya dijadikan sebagai tradisi yang layak untuk dilestarikan.
Kemudian, acara dilanjutkan dengan menyuapi anak daro. Nasi kuning yang membungkus singgang ayam tersebut, diambil oleh marapulai beserta lauk pauknya dan disuapkan pada anak daro. Uniknya, nasi yang disuapkan itu tidak semuanya dihabiskan, hanya sedikit saja, sisanya disimpan oleh anak daro. Hal itu memiliki makna, kelak sebagai seorang istri hendaknya mampu mempergunakan nafkah yang diberikan suaminya dengan bijak. Simpanan uang yang tersisa tersebut nanti dapat dipergunakan jika kondisi keuangan mereka terdesak.
Ya, meski terlihat sederhana berbagai prosesi adat tersebut sarat akan petuah kehidupan. Dan tentunya sangat bermanfaat bagi pasangan untuk melewati setiap jengkal kehidupan berumah tangga. Untuk itu, tidak ada salahnya sebelum menggelar prosesi adat pernikahan daerah, Anda dan pasangan mencari tahu terlebih dahulu tata cara dan maknanya. Agar petatah-petitih yang tersemat dapat lebih diresapi.
Foto: AA Foto