Tradisi yang hidup di muka bumi nusantara sudah seharusnya terus dijaga selamanya. “Merajut Nusantara” yang saat ini memijakkan kakinya di tanah Jawa merupakan gerakan nyata yang diupayakan Vera Anggraini sebagai desainer kebaya. Vera, pemilik sekaligus desainer dari brand Vera Kebaya merasakan keterikatan batin dengan kebaya yang sudah menyatu dalam hidupnya hingga memotivasinya untuk menggelar “Merajut Nusantara”.
“Kebaya itu adalah salah satu busana nasional Indonesia. Sama seperti India punya kain sari, Jepang punya kimono, aku ingin Indonesia dikenal kebayanya yang beragam dan cukup indah. Dan timeless sepanjang masa,” ucap Vera yang sungguh mulia keinginannya.
Bukan hanya sekedar ucapan, Vera merealisasikannya dengan menggelar pagelaran kebaya “Merajut Nusantara” yang dilangsungkan pada 15 Agustus 2018 lalu. Tidak berhenti sampai di situ, “Merajut Nusantara” terus berlanjut dan kali ini singgah di tanah Jawa. Bertujuan untuk menyuarakan tradisi pernikahan Jawa yang sesungguhnya sesuai pakem yang diwarisi nenek moyang.
Menurut catatan sejarah, tradisi pernikahan Jawa yang awalnya utuh kemudian terpecah menjadi dua bagian, Jogja dan Solo. Berasal dari akar yang sama, prosesi hingga busana dan rias adat Solo dan Jogja memiliki persamaan dan perbedaan. Dari segi pakemnya tradisi pernikahan Jogja mempunyai beberapa pilihan tata berbusana, salah satunya Dodot Paes Ageng yang mirip dengan busana kebesaran Solo, Dodot Solo Basahan.
Segi makeup untuk Dodot Paes Ageng dan Dodot Solo Basahan mempunyai persamaan dari alisnya yang bercabang mirip tanduk rusa. Mengandung filosofi mendalam yang artinya keperkasaan. Sementara perbedaannya dapat dilihat dilihat dengan mudah, dimana tepi Paes Ageng Jogja dilengkapi prada keemasan yang mengikuti bentuk paes yang runcing-runcing. Berbeda bentuk dengan paes dodot Solo Basahan yang oval agak membulat. Selain itu, perbedaan selanjutnya juga dapat ditemukan pada warna paes. Paes Ageng berwarna hitam pekat, sementara paes Solo Basahan berwarna kehijauan.
Beranjak pada aksesori rambut, Solo Basahan memiliki cunduk mentul berjumlah sembilan. Sesuai dengan corak kain alas-alasan atau binatang pada busana Dodot Solo Basahan, perhiasan yang menghias seluruh penampilan pengantin juga disebut perhiasan alas-alasan atau binatang. Terdiri dari cunduk mentul bentuk kupu-kupu di tengah yang diapit matahari serta kupu-kupu kecil yang terletak di sebelah gajah dan kijang yang berada paling luar.
Selain Solo Basahan, busana kebesaran lainnya adalah Solo Putri yang juga dilengkapi cunduk mentul yang berjumlah tujuh atau pitu yang mirip maknanya dengan pitulungan yang berarti pertolongan. Dalam doa semoga pengantin selalu mendapat pertolongan selama menjalani pernikahannya. Sebuah tradisi yang begitu kaya akan makna yang tidak sembarangan diwariskan oleh nenek moyang.
Foto: Darwis Triadi
Anda dapat menyaksikan tayangan "Merajut Nusantara" di sini