Dalam pernikahan adat Jawa, ritual prosesi yang paling sering digunakan biasanya mengikuti tradisi Yogyakarta dan Surakarta atau Solo. Meskipun serupa, ada beberapa perbedaan pada ritual prosesi Yogyakarta dan Solo, baik dari segi nama ataupun pelaksanaan. Akan tetapi secara garis besar memiliki arti yang tidak jauh berbeda. Salah satunya adalah ritual sinduran pada adat Solo dan kanten asto atau pondhongan pada adat Yogyakarta. Berikut penjalasan mengenai ritual tersebut :
1. Sinduran (Solo)
Sebelum memasuki pelaminan, kedua pengantin akan berjalan berdampingan dengan posisi mempelai wanita berada di sebelah kiri dan mempelai pria di sebelah kanan dengan diselimuti kain sindur. Berasal dari nama kain itulah nama prosesi sinduran diambil. Kain sindur atau sejenis kain ‘rimong’ yang menyelimuti kedua pasangan ini, mempunyai ciri berwarna merah dengan tepi berwarna putih. Kedua warna tersebut merepresentasikan wanita dalam warna merah dan pria diwakili warna putih yang bermakna harapan untuk menyatu melanjutkan keturunan. Perlahan-lahan kedua mempelai berjalan di belakang sang ayah pengantin wanita seraya saling mengaitkan kelingking, dan secara bersama-sama memegang keris pusaka yang diselipkan di belakang sang ayah mempelai wanita. Posisi ayah mempelai wanita yang berada paling depan bermakna untuk ‘membuka jalan’, dan membimbing putra-putrinya menuju kebahagiaan. Tepat di belakang kedua pengantin, sang ibu mempelai wanita merangkul dan menyelimuti dengan kain sindur yang bermakna bahwa sang ibu akan selalu sedia mendorong putra-putrinya. Di urutan paling belakang terdapat kerabat pengantin perempuan yang ikut mengiringi.
2. Kanten Asto (Yogyakarta)
Sedikit berbeda dengan adat Solo, Yogyakarta tidak memakai kain sindur. Kanten asto dimulai ketika kedua mempelai berjalan bersampingan, mempelai wanita di sisi kiri dan mempelai pria di sisi kanan menuju pelaminan. Sebelumnya, sang juru rias akan mempertemukan kelingking masing-masing untuk dikaitkan seperti bergandengan tangan. Ayah mempelai wanita bertugas menjadi cucuk lampah atau pemandu jalan berada paling depan. Formasi iring-iringan ini sama seperti dalam upacara sinduran (Solo), tepat di belakang kedua pengantin, ibu mempelai wanita berjalan. Dan barisan belakang diisi oleh keluarga mempelai wanita yang sudah menikah yang disebut juga pengobyong/pengiring. Prosesi kanten asto ini dilakukan sebagai pengganti prosesi pondhongan yang hanya boleh dilaksanakan pada upacara pernikahan putri sultan.
3. Pondongan (Bangsawan Yogyakarta)
Prosesi pondongan dilaksanakan khusus pada pernikahan putri sultan saja. Sama dengan kanten asto, ritual ini dilakukan setelah melalui upacara wijikan. Pada prosesi pondongan, putri sultan akan dipondong (digendong) oleh mempelai pria dan salah satu pangeran, yaitu paman dari mempelai putri, menuju pelaminan. Pelaksanaan upacara tersebut merupakan tanda bahwa mempelai pria menghargai mempelai wanita sebagai putri raja, sekaligus sebagai cerminan tanggung jawab suami kepada istri.
Teks: Mery Desianti
Foto: Lightbrush Photography (Sandra dan Dhana), Le’Motion (Yanes dan Anjas), Dok. Keraton Yogyakarta